Pentingnya Budaya Literasi pada Anak Usia Dini dalam Membangun Minat Membaca
![]() |
Sumber Gambar : https://pin.it/3Xq0bit4O |
Dari dulu
sampai saat ini budaya literasi semakin memperhatinkan, apalagi di zaman
milenium dan gen Z ini. Pelajar masa kini sudah tidak lagi menjadikan buku buku
pelajaran teman setia mereka. Generasi penerus bangsa saat ini sudah tidak
menjadikan budaya membaca, menulis, berdiskusi sebagai ciri khas pelajar (Suswandari,
2018). Seperti yang kita lihat budaya
literasi di Indonesia saat ini memang rendah, terutama dalam membaca buku
dikehidupan sehari hari. Budaya literasi sendiri itu adalah kebiasaan melakukan
kegiatan menulis ataupun membaca dalam sehari hari. Sayangnya masyarakat
Indonesia saat ini, tidak menjadikan membaca atau menulis kegiatan yang wajib
dilakukan setiap harinya. Generasi penereus bangsa saat ini
lebih sering menggunakan gadget dan mengandalkan kemampuan internet untuk
mencari jawaban untuk tugas atau pertanyaan daripada membaca buku. Budaya literasi ini hilang disebabkan
banyaknya faktor, faktor yang utama adalah ekonomi. Pendapatan yang didapat
oleh masyarakat saat ini tidak sesuai dengan pengeluaran yang dikeluarkan untuk
memenuhi biaya hidup. Dalam keperluan
setiap hari saja mereka cukup-cukupkan, Lalu bagaimana masyarakat dapat membeli
buku yang harganya cukup mahal. Selain itu, masyarakat yang tidak dapat membeli
buku harga murah dan tidak bisa mengakses buku secara gratis. Faktor budaya
literasi menghilang adalah pendidikan, pendidikan ini sangat penting dalam
meningkatkan budaya literasi sebab disana mereka belajar dengan memahami
sesuatu materi yang sumbernya itu diperoleh dari buku, menulis dan membaca buku
yang ada diperpustakaan sekolah. Namun masih ada beberapa sekolah belum
melaksanakan kegiatan literasi dan meningkatkan budaya litrerasi secara
maksimal sebab di sekolah siswa lebih sering disuruh menghafal materi tugas dan
mengerjakan tugas daripada membaca buku. Hal ini membuat siswa paham materi
dengan menghafalnya daripada memahami materinya secara luas. Seperti yang kita
ketahui menghafal sesuatu dikemudian hari pasti akan lupa beda halnya kalau
kita memahami sesuatu materi tersebut dengan membaca buku pasti akan selalu
diingat didalam pikiran kita. Faktor yang menyebabkan masyarakat
Indonesia saat ini rendah dalam minat membaca adalah teknologi dan informasi. Kemudahan dalam mencari informasi yang disebabkan
pengaruh teknologi informasi membuat masyarakat jadi lebih sering mengandalkan
kemampuan internet daripada kemampuan pengetahuan dari dirinya sendiri yaitu
dengan meningkatkan minat baca. Hal ini membuat masyarakat tidak dapat
meningkatkan minat baca sebab malas membaca lama lama dalam mencari informasi
yang ingin di dapatkan.
Kemampuan
membaca merupakan dasar untuk mencapai pendidikan selanjutnya. Landasan tingkat
pendidikan tinggi adalah membaca. Sebagai pendidik harus memberikan perhatian
dalam hal membaca, sebab seseorang akan kesulitan memperoleh pengetahuan bila
kemampuan dasarnya (membaca) pada dirinya saja tidak kuat (Parapat
& Huda, 2022). Kemampuan membaca adalah hal yang
sangat penting dalam pendidikan, hal yang mendasari seseorang untuk menentukan
pendidikan selanjutnya. Membaca adalah cara seseorang memperoleh berbagai macam
pengetahuan dan informasi. Seseorang yang memiliki minat baca biasanya memiliki
pengetahuan yang luas hasil yang diperoleh dari buku buku yang dibaca berbeda
dengan seseorang yang tidak memiliki minat baca mereka memiliki pengetahuan
sempit dan tidak dapat berpikir secara kritis. Pada saat ini kita dihadapkan
rendahnya minat baca di kalangan para siswa dan mahasiswa, mereka lebih senang
menonton film daripada membaca dan lebih sering menggunakan gadget daripada membaca buku. Rendahnya minat pada
siswa dan mahasiswa juga suatu hal yang kita harus perhatikan, sebab ini
menentukan bagaimana kualitas sumber daya manusia di Indonesia ke depannya.
Rendahnya minat baca dapat menjadikan siswa dan mahasiswa tidak memiliki
wawasan yang luas dan pengetahuannya akan tertinggal. Jika seorang siswa atau
mahasiswa tidak memiliki wawasan yang luas mereka akan kesulitan dalam proses
belajar. Siswa dan Mahasiswa akan tidak aktif dan tidak dapat berpikir secara
kritis di dalam kelas. Mereka lebih sering menerima informasi yang diberikan
oleh guru atau dosen daripada memberikan tanggapan terkait materi yang
dijelaskan. Rendahnya minat baca ini disebabkan seorang siswa tersebut tidak
terbiasa membaca sejak usia dini, mereka tidak memiliki motivasi atau dorongan
untuk melakukan kegiatan membaca yang membuat tidak kebiasaan membaca dalam
sehari-hari. Hal ini yang harus diperhatikan pendidik untuk meningkatkan minat
baca pada seseorang.
Seperti yang dibilang sebelumnya
seseorang yang memiliki minat baca yang rendah, mereka tidak mempunyai
pengetahuan yang luas dan tidak dapat berpikir kritis. Saat ini kita dihadapkan
Maraknya masyarakat yang percaya dengan berita hoax. Faktor yang menyebabkan
seseorang sangat mudah mempercayai berita hoax diantaranya adalah informasi
yang didapat sesuai dengan opini individu dan dapat menyalurkan opini tersebut.
Faktor selanjutnya adalah minimnya pengetahuan. Hal ini diungkapkan oleh Laras
Sekarasih yang merupakan dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia (Chumairoh,
2020).
Pengetahuan yang terbatas ini, dapat menyebakan sesorang dengan mudah
mempercayai berita yang belum diketahui kebenarannya. Di dalam kutipan
dikatakan bahwa faktor yang menyebakan seseorang mudah mempercayai berita hoax
adalah informasi yang diterima dapat menyalurkan opini setiap individu dan
terbatasnya pengetahuan. Kutipan tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat
menerima berita hoax itu disebabkan sesuai dengan keyakinan mereka yang
menyampaikan opini mereka. Masyarakat sangat mudah menerima berita jika sudah
bersangkutan dengan pandangan mereka tanpa mencari terlebih dahulu
kebenarannya, dan menyebarkannya secara lebih luas. Selain itu masyarakat lebih
mudah menerima berita hoax yang disebabkan terbatasnya pengetahuan, dikarenakan
kurangnya literasi. Hal ini membuat masyarakat tidak memiliki wawasan yang luas
dan tidak dapat berpikir kritis sehingga langsung menerima tanpa mengecek atau
memikirnnya terlebih dahulu. Maka dari itu, Kemampuan literasi ini sangat
penting dijadikan solusi dalam mencegah menyebarnya berita hoax di dalam
masyarakat. Dengan banyaknya masyarakat yang memiliki kemampuan literasi dan
dapat berpikir secara kritis dalam menerima berita, maka akan semakin sedikit
juga berita hoax itu tersebar.
John W.
Miller, Central State University melakukan riset dan mengungkapkan bahwa salah
satu negara eropa yang paling terpelajar dalam bidang literasi dan menempati
urutan no.1 di dunia adalah negara Finlandia (Joko,
2020). Menjadi
negara yang masyarakatnya paling literat, Finlandia pasti melakukan sesuatu
bagaimana cara menciptakan budaya literasi di dalam lingkungan masyarakatnya.
Bentuk usaha pemerintah Finlandia adalah dengan memberikan fasilitas sarana dan
prasarana kegiatan literasi sejak bayi baru lahir dan memberikan dukungan penuh
kepada masyarakat dengan tidak menyiarkan siaran TV yang tidak memiliki manfaat
dan membuat teks percakapan disaluran tv agar melatih kemampuan masyarakat
dalam membaca. Pemerintah Finlandia juga memberikan fasilitas perpustakaan yang
nyaman dan aman bagi masyarakatnya, selain itu pemerintah membangun
perpustakaan tidak hanya disekolah melainkan disetiap tempat tempat umum
seperti mall. Sedangkan Indonesia sebagai negara yang rendah dalam bidang
literasi. Rendahnya literasi di Indonesia disebabkan tidak meratanya fasilitas
perpustakaan di lingkungan masyarakat dan tidak banyak tersedianya bahan buku
bacaan dan alat alat tulis secara gratis. Luasnya wilayah Indonesia membuat
tidak meratanya fasilitas sarana dan prasarana kegiatan literasi di daerah desa
yang terpencil. Kurangnya peran orang tua dalam membentuk anak memiliki minat
membaca, tidak terbiasa melakukan kegiatan literasi membuat seseorang malas
membaca di kemudian hari. Dalam menjaga kecerdasan anak di Finlandia, sekolah
di sana memberikan makanan siang gratis yang bergizi tinggi dan memastikan bahwa anak anak makan dengan
baik. Selain itu, pemerintah membuat perpustakaan yang dapat terkoneksi dengan
internet dan materi pembelajaran yang selalu tersedia. Pemerintah Finlandia
juga memberikan fasilitas transportasi kepada pelajar yang berupa bus.
Indonesia dan Finlandia tentu saja berbeda dalam hal literasi, di Indonesia
dalam praktik nya selalu gagal menciptakan budaya literasi yang disebabkan
bantuan dana BOS yang sedikit serta sering tidak pergunakan dengan baik. Selain
itu, keterlambatan pengiriman buku yang menyebab minimnya ketersediaan buku
menyabkan terhambatnya pembelajaran (Ananda
et al., 2023).
Sebagai negara yang paling terpelajar dalam bidang literasi sejak usia dini
mereka mendapatkan pendidikan yang mendukung kegiatan literasi dari pemerintah
dan keluarganya. Ketika bayi di Finlandia itu lahir mereka mendapatkan paket
perlengkapan dan perkembangan anak, salah satunya adalah paket buku. Disana
pendidikan literasi sudah dimulai sejak usia dini, meskipun anak di Finlandia
belum sekolah, sebab menurut mereka pembentukan karakter seorang anak dapat
dilakukan dengan mudah ketika mereka berusia balita. Finlandia mempunyai
perpustakaan yang dimana pun tanpa terkecuali walaupun daerah itu terpencil,
bahkan di dalam mall juga terdapat perpustakaan yang berisikan alat penunjang
kegiataan literasi dan bahan bacaan. Masyarakat Finlandia menganggap
perpustakaan adalah institusi budaya, semua masyarakat disana dapat merasakan
fasilitas sarana dan prasarana untuk kegiatan literasi tanpa terkecuali
sekalipun. Selain itu anak anak di Finlandia sudah mempunyai library card
walaupun belum memulai sekolah, Disana anak anak Finlandia juga diberikan
kebebasan dalam memilih bacaan buku yang diinginkan. Masyarakat Finlandia juga
menjadikan tradisi membaca dongeng sebelum tidur. Orang tua sangat beperan
penting untuk membentuk karakter seorang anak. Karena inilah orang tua di
Finlandia harus aktif dalam membantu membangun minat membaca seorang anak
dengan cara itulah terciptanya budaya literasi di dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat. Berbeda dengan yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk kegiatan
literasi, walaupun mereka telah memberikan dana bos untuk kegiatan belajar
seperti untuk membeli buku buku, sayangnya jumlah buku yang tersedia hanya
sedikit karena disebabkan sering terlambatnya pengiriman bukunya. Perpustakaan
di sekolah sekolah juga belum terlaksana dengan baik sebab belum lengkap
peralatan dan perlengkapan untuk kegiatan literasi, ruangan yang gelap membuat
siswa nyaman untuk melakukan kegiatan literasi di sekolah. Selain itu, ada
beberapa sekolah yang belum memiliki ruangan perpustakaan disekolah nya yang
disebabkan kurangnya dana yang diberikan oleh pemerintah untuk membangun
ruangan perpustakaan. Di Indonesia juga belum banyak orang tua yang menerapkan
budaya literasi sejak usia dini, sebab bagi mereka kegiatan bukanlah hal yang
wajib dilakukan. Ada juga orang tua yang ingin menerapkan budaya literasi,
tetapi karena terbatasnya ekonomi mereka tidak bisa mendapatkan paket
perlengkapan kegiatan literasi, membuat mereka mengurungkan niatnya untuk
menerapkan budaya literasi pada anak mereka. Hal inilah yang menyebabkan
masyarakat tidak mampu untuk melakukan kegiatan literasi di dalam lingkungan
keluarga. Di Indonesia juga belum memfasilitasi sarana dan prasarana
perpustakaan di didalam mall atau tempat umum secara gratis seperti di
Finlandia. Masyarakat di Indonesia yang berada di daerah terpencil belum
mendapatkan fasilitas pendidikan apalagi perpustakaan. Pemerintah di Indonesia
belum mendukung kegiatan literasi secara merata dengan baik seperti yang
dilakukan negara Finlandia, masih banyak pemerintah yang tidak jujur dalam
tugasnya, mereka tidak membangun sebuah sarana dan prasarana untuk kegiatan
literasi justru malah mengambil dana tersebut untuk dirinya sendiri. Hal inilah
yang membuat budaya literasi di Indonesia pada anak usia dini rendah dan
menyebabkan seseorang tidak memiliki minat baca yang tinggi. Kurangnya
fasilitas sarana dan prasarana yang tidak memadai membuat masyarakat terutama
orang tua kesulitan untuk dapat menciptakan budaya literasi dilingkungan
keluarga dan masyarakat luas.
Untuk menciptakan manusia yang
berkualitas sebenarnya sudah bisa dilakukan ketika seorang anak masih di dalam
kandungan. Maka dari itu ketika anak masih berusia dini pengenalan terhadap
literasi sudah dapat dimulai. Sayangnya saat ini usaha untuk membentuk karakter
anak agar senang berliterasi mengalami hambatan yang disebabkan oleh minimnya
bahan bacaan buku dan penunjang kegiatan literasi (Dewi
& Masitoh, 2022). Dari
permasalahan dan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang memiliki
minat baca yang rendah, disebabkan tidak adanya keterbiasaan melakukan literasi
setiap hari. Pembentukan karakter minat membaca atau berliterasi pada seorang
anak juga masih rendah sebab terbatasnya alat penunjang yang lengkap untuk
mendukung kegiatan literasi seperti kurangnya buku yang tersedia dan
perpustakaan di lingkungan. Selain itu, peran orang tua dalam membentuk
karakter seorang anak memiliki minat membaca belum terlaksana dengan baik.
Masih banyak orang tua yang tidak mendampingi dan mendukung mereka dalam
kegiatan literasi. Menurut saya, membentuk karakter seorang anak dalam
membangun minat membaca, orang tua adalah peran yang sangat penting. Di dalam
kutipan dikatakan membentuk sumber daya yang unggul harus dilakukan sejak
didalam kandungan. Maka dari itu jika ingin menumbuhkan rasa minat membaca pada
anak, orang tua harus mengenalkan literasi sejak usia dini dan menjadikan
tradisi membaca buku dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang dilakukan
Finlandia menerapkan budaya literasi sejak anak usia dini, dengan memulai
membacakan dongeng sebelum tidur pada anak. Indonesia juga harus menerapkan hal
ini agar generasi penerus bangsa di Indonesia memiliki kebiasaan dan tertarik
membaca di dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan sumberdaya manusia yang
berkualitas sebab jika generasi muda memiliki minat membaca yang tinggi banyak
dari mereka memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.
Kondisi perpustakaan di Indonesia setiap
sekolah berdasarkan hasil survey yakni berbeda beda setiap tiap jenjang
pendidikannya. Kondisi perpustakaan disekolah yang kita sering kali kita lihat,
terlihat kurang nyaman dan ruangannya yang berdebu dan pencahayaannya yang
kurang terang. Hal inilah yang membuat siswa malas mengunjungi perpustakaan di
sekolah dan enggan menjadikan perpustakaan sebagai tempat belajar (Afifah
et al., 2020).
Dalam membangun minat membaca atau menciptakan budaya literasi di lingkungan
perlu adanya sarana dan prasarana yang memadai, agar usaha membentuk karakter
seorang anak untuk gemar literasi dapat dilakukan dengan mudah. Pemerintah yang
bertanggung jawab terhadap menciptakan generasi muda yang berkualitas,
pemerintah harus meningkatkan budaya literasi di lingkungan masyarakat
Indonesia, dengan mendukung adanya kegiatan literasi serta membangun fasilitas
sarana dan prasarana yang memadai dan merata. Kutipan diatas menyatakan bahwa
perpustakaan sekolah di Indonesia banyak yang tidak terawat dengan benar,
banyak ditemukan perpustakaan yang berdebu dan gelap. Maka dari itu pemerintah
harus memastikan bahwa setiap sekolah mempunyai ruangan perpustakaan yang
nyaman dan membuat kebijakan siswa harus membaca minimal 10 menit disekolah.
Pemerintah juga harus memperbanyak buku bacaan untuk anak-anak yang menarik,
alat tulis, menggambar dan memberikan tempat untuk kegiatan literasi yang
nyaman agar anak anak tidak mudah bosan ketika melakukan kegiatan literasi.
Pemerintah mungkin bisa membuat perpustakaan keliling di setiap didaerah, tanpa
terkecuali sekalipun. Dalam hal ini pemerintah harus memastikan bahwa setiap
masyarakat mendapatkan hak yang sama dalam kegiatan literasi tanpa melihat
latar belakang ekonominya. Peran pemerintah dalam membangun minat membaca sama
pentingnya dengan orang tua. Seperti yang dilakukan pemerintah di Finlandia
dalam membangun minat membaca, mereka sangat sangat mendukung kegiatan literasi
di negaranya. Dengan memberikan fasilitas sarana dan prasarana yang merata dan
memadai dapat menciptakan budaya literasi dilingkungan masyarakat.
Reference
Afifah,
N. ‘Afina, Erwina, W., & Rohman, A. S. (2020). PERAN TENAGA PERPUSTAKAAN
DALAM MEWUJUDKAN KEBERHASILAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH (GLS) DI SD NEGERI 02
RAJAMANDALA. Jurnal Pustaka Budaya, 7(2), 105–112.
https://doi.org/10.31849/pb.v7i2.4174
Ananda, R., Syaputri, W. I., Suhesni, T., & Rossadah, N.
(2023). Perbandingan Pendidikan di Indonesia dan Pendidikan di Finlandia. JIIP
- Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 6(9), 6689–6694.
https://doi.org/10.54371/jiip.v6i9.2812
Chumairoh, H. (2020). Ancaman Berita Bohong di Tengah Pandemi
Covid-19. Vox Populi, 3(1), 22–30.
https://doi.org/10.24252/vp.v3i1.14395
Dewi, S. R., & Masitoh, M. R. (2022). Membangun Budaya
Literasi sejak Dini untuk Mewujudkan Insan yang Kompeten dan Unggul. Jurnal
Pengabdian Masyarakat Indonesia, 2(6), 815–821.
https://doi.org/10.52436/1.jpmi.890
Joko, B. S. (2020). MEMPERKUAT GERAKAN LITERASI SEKOLAH
SEBAGAI UPAYA MENUMBUHKAN MINAT BACA SISWA SMA DI BALIKPAPAN. Jurnal
Penelitian Kebijakan Pendidikan, 12(2), 123–141.
https://doi.org/10.24832/jpkp.v12i2.281
Nurbaiti kartika, A. (2022). BUDAYA LITERASI DI NEGARA
FINLANDIA. Spemakid.
https://smpmuhmungkid.sch.id/2022/03/28/budaya-literasi-di-negara-finlandia/
Parapat, L. H., & Huda, R. (2022). PROBLEMATIKA
KETERAMPILAN MEMBACA DAN MENULIS PADA MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UM-TAPSEL. Jurnal Hata Poda, 1(1), 1–10.
https://doi.org/10.24952/hatapoda.v1i1.5440
Suswandari, M. (2018). MEMBANGUN BUDAYA LITERASI BAGI
SUPLEMEN PENDIDIKAN DI INDONESIA. JURNAL DIKDAS BANTARA, 1(1),
20–32. https://doi.org/10.32585/jdb.v1i1.105
Post a Comment