Mengkaji Kontroversi Wacana Student Loan Sebagai Pembiayaan Pendidikan
Mengkaji Kontroversi Wacana Student Loan Sebagai Pembiayaan
Pendidikan
Pendidikan menjadi salah satu komponen penting pembangunan dalam membentuk
generasi penerus bangsa, komitmen
pemerintah salah satunya ialah meningkatkan kualitas sumber daya manusia, untuk
mengoptimalkan bonus demografi agar terwujudnya Indonesia Emas 2024. Sektor pendidikan,
salah satunya dalam pendidikan tinggi memainkan peran penting dalam pembangunan
suatu negara. Pendidikan tinggi tidak hanya dipandang sebagai salah satu akses menuju lebih banyak peluang kesempatan bagi
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dalam berkehidupan, tetapi juga
berkontribusi menjadi sumber daya manusia berkualitas tinggi yang kompetitif di
pasar global. Oleh karena itu, akses terhadap pendidikan, termasuk pendidikan
tinggi perlu ditingkatkan. Ini merupakan salah satu aspek utama yang sangat
penting dalam evaluasi sektor pendidikan.
Pada tahun 2023, angka partisipasi kasar nasional dalam pendidikan
tinggi (APK-PT) mencapai 31,45% (BPS, 2023) yang berarti target 37,63% yang ditetapkan dalam rencana strategis
kemedikbud ristek periode 2020-2024
masih belum tercapai (Wicaksana & Rachman, 2022). Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia juga masih
tertinggal dengan Thailand mencapai 49,1%, Vietnam 42,2%, dan Malaysia 40,3%
pada tahun 2022 . Dana penyediaan pendidikan tinggi hanya 5% dari anggaran pendidikan (20%) yang
dibelanjakan untuk pendidikan tinggi, sama dengan 0,4% dari PDB nasional. Perbandingan dana
Indonesia jauh lebih rendah dibawah Malaysia (1,7%) dan Thailand (0,7%) (world bank, 2020) . Dengan terbatasnya kontribusi negara, mahasiswa harus menanggung
beban keuangan yang berat. Diperkirakan bahwa bantuan keuangan yang diberikan
kepada siswa pendidikan tinggi hanya mencakup 3% dari total biaya studi mereka
(Bank Dunia, 2020). Situasi ini membahayakan akses ke pendidikan tinggi bagi
masyarakat kelas menengah ke bawah (Nauli A. Desdiani & Pratama,
2024). Dalam
beberapa tahun terakhir, meningkatnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia
telah menjadi isu yang sensitif dan sorotan utama, biaya pendidikan Kenaikan uang kuliah tersebut didasarkan pada Permendikbud
Ristek No. 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan
Tinggi pada PTN Kemendikbud Ristek. Tingginya kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT)
menjadi masalah serius bagi mahasiswa dan masyarakat, yang dapat berdampak pada
mahasiswa yang kesulitan membiayai kuliahnya.
Kontroversi mengenai akses ke pendidikan tinggi semakin meningkat
dengan adanya beberapa pemberitaan mengenai penggunaan pinjaman online sebagai
pilihan untuk membayar biaya kuliah disalah satu universitas negeri nasional. (Maya Citra Rosa, 2024), hal ini menjadi memicu
perdebatan publik tentang konsep
pinjaman mahasiswa seusai respon dari pemerintah dalam pernyataan kebijakan
pinjaman mahasiswa (student loan) sebagai opsi pembiayaan untuk
mahasiswa. Fenomena pinjaman mahasiswa telah memunculkan sejumlah pertanyaan
yang perlu dijawab. Apakah penerapan student loan mungkin buat diterapkan di Indonesia? Atau
justru malah ini akan menimbulkan masalah baru lagi? Bagaimana pengalaman negara-negara yang menawarkan student loan kepada mahasiswa?
Pinjaman mahasiswa (student loan) bukanlah hal yang baru di
Indonesia, pinjaman serupa diperkenalkan pada tahun 1982 dalam bentuk Kredit
Mahasiswa pada era Orde Baru sekitar
tahun 1982, yang dikenal dengan Kredit Mahasiswa Indonesia (KIM). KMI diperuntukan
bagi mahasiswa yang sudah berada di tahap akhir studi mereka dengan tujuan mendukung
mahasiswa menyelesaikan studi mereka lebih cepat. Pada saat itu, biaya kuliah
di universitas negeri berkisar antara Rp. 375.000 hingga Rp. 562.000 dalam satu
tahun, dan jumlah pinjaman maksimum untuk KMI adalah sekitar Rp. 1.000.000 Pinjaman mahasiswa KMI dapat mencapai Rp. 750.000 per tahun untuk program
sarjana, Rp. 1.500.000 untuk program
pascasarjana, dan Rp. 2.500.000 untuk program doktoral, dengan bunga 6% dalam
satu tahun. Pinjaman tersebut harus dilunasi dalam 10 tahun batas maksimal. Salah
satu alasan utama program ini tidak dijalankan adalah karena adanya kredit
macet dan manajemen yang kurang baik, maka kebijakan ini dihentikan sesuai
dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 22/81/KEP/DIR/1990 tentang
penyempurnaan sistem perkreditan. (Nahdi et al., 2024)
Di Indonesia, student loan sedang didiskusikan sebagai salah
satu solusi untuk mengatasi meningkatnya biaya pendidikan, terutama pendidikan
tinggi. Diskusi ini melibatkan pemerintah, lembaga keuangan, dan universitas
dalam mengatur skema pembayaran melalui pinjaman pendidikan. Pada kenyataannya pinjaman
pendidikan sudah ada di Indonesia, tetapi hanya melalui pinjaman swasta dari
beberapa bank. Namun, pemerintah berencana untuk memberikan pinjaman publik.
Hal ini disampaikan menteri keuangan Ibu
Sri Mulyani, yang berpendapat pemerintah akan
memberikan pinjaman pendidikan. Skema student loan ini terdiri dari dua jenis, yaitu
berdasarkan waktu (time contigen) dan berdasarkan pendapatan (income contigen).
Jangka waktu pengembaliannya adalah 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun, atau 40
tahun, mirip dengan sistem hipotek di Amerika Serikat. Studi (Ifo & Aper, 2015) yang menganalisis konsep student loan di Amerika Serikat,
menemukan Suku bunga pinjaman yang lebih rendah dapat mengurangi beban
pembayaran bulanan yang harus dilakukan untuk melunasi pokok dan bunga
pinjaman. Dalam konteks ini, suku bunga yang lebih rendah akan membuat
pembayaran pinjaman menjadi lebih terjangkau bagi peminjam dengan risiko
tinggi, sehingga mengurangi kemungkinan gagal bayar. Hal ini pada akhirnya akan
menurunkan tingkat gagal bayar secara keseluruhan.
Sementara itu, pinjaman berbasis pendapatan sangat populer di
Australia, Swedia, dan Inggris. Banyak yang berpendapat bahwa pinjaman
mahasiswa di luar negeri juga bermasalah. Di Amerika Serikat, banyak orang yang
tidak mampu membayar pinjaman mereka. Jika ingin diterapkan di Indonesia, ada
beberapa aspek yang harus diperbaiki terlebih dahulu, seperti data kependudukan
dan data pajak. dalam penelitian Lembaga Penelitian SMERU, yang menunjukkan
bahwa sistem pinjaman berbasis pendapatan lebih cocok daripada sistem pinjaman
berbasis waktu (Elza Elmira & Daniel
Suryadarma, 2019).
Negara-negara maju yang terlebih dahulu menerapkan kebijakan student
loan terdapat sisi negatif. Di Amerika Serikat, pinjaman mahasiswa bernilai akan mencapai
1,76 triliun pada tahun 2023, dengan rata-rata pertumbuhan pinjaman sebesar 2,5%. Persentase pinjaman mahasiswa di AS yang mengalami gagal bayar dalam lima
tahun pertama mencapai 25 persen.. (Melanie Hanson, 2023) Dari perspektif mikro, hal ini menyebabkan penurunan peringkat
kredit lulusan, potensi pencabutan gelar, dan berbagai konsekuensi lainnya.
Dari segi makroekonomi, adanya penurunan
pada pendapatan lulusan menyebabkan konsumsi pemerintah yang menurun, hal ini
berdampak ke dalam pertumbuhan ekonomi yang menurun lemah. Kebijakan student
loan tersebut juga harus memandang dari segi struktur pasar dan sistem
pembiayaan.. Kebijakan ini tidak boleh dipolitisasi. melalui program-program seperti pengurangan
utang mahasiswa yang telah mencapai $4,9 milyar, seperti yang terjadi di
Amerika Serikat. Di Inggris, hanya 27% mahasiswa yang melunasi pinjamannya
secara penuh. Angkatan 2022 yang memasuki perguruan tinggi menunjukkan bahwa
hanya 27 persen yang membayar penuh. Utang pendidikan di Inggris yang berasal
dari pinjaman mahasiswa mencapai sekitar £200 miliar, yang menjadi beban bagi
pemerintah, meskipun faktanya hanya 1,3 juta penduduk Inggris yang mengambil
pinjaman mahasiswa.
Pemerintah Indonesia harus memiliki kebijakan yang jelas terkait
pendidikan tinggi. Apakah pendidikan tinggi dianggap sebagai barang publik atau
tidak? Barang publik berarti setiap orang memiliki akses gratis ke pendidikan
tinggi (Muammar Syarif & Rayenda
Khresna Brahmana, 2024). Saat ini, isu pendidikan tinggi baru muncul ketika sudah viral.
Setiap partai politik dan pemerintahan, baik oposisi maupun yang berkuasa,
belum memiliki kebijakan jelas apakah pendidikan tinggi adalah barang publik
atau bukan. Jika dianggap sebagai barang publik, perlu ditentukan siapa yang
akan menjadi target penerima bantuan keuangan seperti student loan.
Jika skema student loan ini diterapkan di Indonesia, perlu
persiapan yang matang, termasuk perbaikan data kependudukan dan perpajakan,
serta kontrol dan monitoring yang ketat (Muammar Syarif & Rayenda
Khresna Brahmana, 2024). Untuk menerapkan kebijakan pinjaman mahasiswa (student loan)
pemerintah juga perlu menyiapkan sistem kontrol dan monitoring perlu
diperbaiki. Sebagai contoh, saat ini sistem kontrol di Indonesia, terutama di
Kemedikbud Ristek, masih lemah. Contohnya adalah insentif publikasi yang
menimbulkan efek negatif akibat kurangnya sistem kontrol yang baik. Demikian
juga dengan program beasiswa LPDP, banyak mahasiswa yang tidak kembali ke
Indonesia karena kurangnya sistem monitoring yang efektif.
Pemerintah juga perlu menentukan apakah pendidikan tinggi akan
menjadi barang publik yang didanai oleh negara, atau tetap bergantung pada
pinjaman pendidikan. Alternatif lain yang bisa diterapkan termasuk subsidi
langsung bagi keluarga berpendapatan rendah, pembayaran bertahap, atau kerja
sama dengan industri untuk mendanai pendidikan melalui program magang. Tanpa
persiapan dan sistem yang jelas, tanpa perencaan yang matang student loan hanya
akan menambah beban baru bagi pemerintah, dan banyak menyulitkan mahasiswa di
jangka panjangnya. Di Indonesia, dengan sekitar 40 juta penduduk yang seandainya
mengambil pinjaman pendidikan, apakah APBN mampu menanggung beban ini.? Ada
banyak masalah yang bisa muncul. Misalnya, setelah lulus, ada yang tidak
memiliki penghasilan atau menjadi wirausaha dan tidak mampu membayar cicilan.
Selain itu, ada beberapa kasus di mana mahasiswa merasa tidak perlu
mengembalikan pinjamannya, terutama jika ada isu-isu terkait pendidikan yang
menjadi komoditas politik. Di Malaysia, misalnya, utang pendidikan PTPTN sudah
tinggi, tetapi partai politik sering berjanji untuk menghapuskan utang tersebut
untuk menarik dukungan, masalah demografi dan persiapan yang diperlukan juga
perlu dipertimbangkan, dan tidak seharusnya apa yang dilakukan oleh
negara-negara di luar negeri, termasuk negara maju seperti Amerika, Jepang,
Singapura, atau Inggris, selalu diterapkan di Indonesia. Itu yang pertama.
Jadi, jangan serta-merta mengadopsi sesuatu dengan asumsi bahwa hal tersebut
pasti akan berhasil diterapkan di Indonesia. Itu yang harus diingat terlebih
dahulu. Jika pemerintah benar-benar akan menerapkan student loan ini di
Indonesia, selain sistem pajak dan data kependudukan yang harus diperbaiki,
masih banyak persiapan lain yang harus dilakukan secara matang.
Dalam mengkaji hingga ke penerapan nantinya kebijakan, pemerintah
harus menjamin bahwa kebijakan student loan tersebut terjangkau dan
tidak membebani mahasiswa sehingga tidak terjadi efek jangka panjang yang
membebankan bagi mahasiswa, dengan melihat beberapa studi kasus dari negara
lain yang sudah menerapkan kebijakan student loan ini, pemerintah juga
perlu melihat keadaan sosial dari masyarakat. Pengurangan pendanaan universitas
melalui PTN BH telah memaksa institusi pendidikan untuk mencari keuntungan, yang
pada akhirnya berujung pada kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Maka dari itu,
perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan peran kampus sebagai lembaga
pendidikan yang bebas dari tuntutan mencari keuntungan. Selain itu, alokasi
APBN untuk pendidikan yang hanya sekitar 20% menunjukkan prioritas yang kurang
tepat, sehingga perlu ditinjau kembali untuk menjadikan pendidikan sebagai
prioritas
Kita perlu menyadari bahwa dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia di Indonesia masih banyak yang harus dilakukan. Pemerintah pusat dan
daerah memiliki tanggung jawab untuk memastikan hal tersebut. Menyediakan
pendidikan gratis dalam wajib belajar sembilan tahun, berbagai program pendidikan
beasiswa untuk menjamin terwujudnya hak dalam pendidikan di semua kalangan masyarakat
(Nauli A. Desdiani & Pratama,
2024). Pemerintah
seharusnya tidak hanya memberikan insentif dalam bentuk student loan,
pemerintah juga harus mengawasi universitas yang memberikan pinjaman, baik
melalui bank swasta maupun online. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi barang
publik dengan dukungan penuh untuk keluarga berpenghasilan rendah, termasuk
melalui sistem pembayaran bertahap yang memungkinkan mahasiswa membayar biaya
kuliah dengan cicilan bulanan.
Kolaborasi dengan industri dapat menjadi solusi tambahan, seperti
melalui penyediaan beasiswa oleh perusahaan besar untuk mahasiswa kurang mampu
dan program magang yang memungkinkan mahasiswa melakukan penelitian yang
didanai oleh industri serta bekerja di industri setelah lulus. Akses dan
keterjangkauan pendidikan tinggi adalah kunci untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia. Meskipun biaya pendidikan cenderung meningkat
karena inflasi dan faktor lainnya, peran pemerintah sangat penting dalam
memastikan pendidikan tinggi yang inklusif dan dapat diakses oleh semua orang.
Pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas untuk arah pendidikan tinggi di
Indonesia, dengan setiap kebijakan yang didasarkan pada fakta dan penelitian,
sehingga dapat mengembangkan rencana pendidikan tinggi yang inklusif dan
mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa membebani anggaran negara.
REFERENSI
BPS, 2023. (2023). Angka Partisipasi
Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT. Badan PusatStatistik.https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTQ0MyMy/angka-partisipasi-kasar--apk--perguruan-tinggi--pt--menurut-provinsi.html
Elza Elmira, & Daniel Suryadarma.
(2019). Pinjaman Berbasis Pendapatan untuk Meningkatkan Akses terhadap
Pendidikan Tinggi. 1, 1–4.
Ifo, C. E. S., & Aper, W. O. P.
(2015). An Economist ’ s Perspective on Student Loans in the United States
Susan Dynarski An Economist ’ s Perspective on Student Loans in the United
States Abstract.
Maya Citra Rosa. (2024). Duduk
Perkara ITB Gandeng Pinjol untuk Bayar UKT, Tetap BerlanjutmeskiTuaiPenolakanMahasiswa.Kompas.
https://bandung.kompas.com/read/2024/02/01/120813778/duduk-perkara-itb-gandeng-pinjol-untuk-bayar-ukt-tetap-berlanjut-meski-tuai?lgn_method=google&google_btn=gsi
Melanie Hanson. (2023). Student Loan
Default Rate. EDUCATION DATA INTIATIVE.
https://educationdata.org/student-loan-default-rate
Muammar Syarif, & Rayenda Khresna
Brahmana. (2024). Penerapan “student loan” di Indonesia: solusi untuk
tingginya biaya kuliah? THE CONVERSATION.
https://theconversation.com/penerapan-student-loan-di-indonesia-solusi-untuk-tingginya-biaya-kuliah-231164
Nahdi, S., Amalika, H., Azzahra, H.,
Firman, W., Program, N., Pembangunan, S. E., Ekonomi, F., & Bisnis, D.
(2024). Studi Komparatif Student Loan Australia, Amerika dan Swedia Serta
Potensi Penerapannya di Indonesia. Journal of Macroeconomics and
Social Development, 1(4), 1–20.
https://doi.org/10.47134/JMSD.V1I4.318
Nauli A. Desdiani, & Pratama, A. P.
(2024). Special report. Meninjau ‘Student Loan’ Sebagai Alternatif
Pembiayaan Untuk Peningkatan Akses Ke Pendidikan Tinggi, 1, 1–7.
https://lpem.org/meninjau-student-loan-sebagai-alternatif-pembiayaan-untuk-peningkatan-akses-ke-pendidikan-tinggi/
Wicaksana, A., & Rachman, T. (2022).
Laporan Kinerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi 2022. Angewandte
Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 3(1), 10–27.
https://medium.com/@arifwicaksanaa/pengertian-use-case-a7e576e1b6bf
world bank. (2020). The Promise of
Education in Indonesia. Wolrd Bank.
https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/the-promise-of-education-in-indonesia
kerenn
BalasHapusSuka penulisan dilengkapi sama studi kasus dari negara lain juga
BalasHapusPenulis nggak hanya memberikan informasi, tapi juga mengajak pembaca untuk berpikir kritis dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting tentang implementasi student loan di Indonesia
BalasHapus