Header Ads

Urgensi Ilmu Dalam Dinamika Pembangunan Nasional

 

Sistem pendidikan nasional yang komprehensif mencakup pendidikan kewarganegaraan. Oleh karena itua, prosesa pendidikana kewarganegaraana dimasukkan ke dalamakurikuluma dana pengajaran di setiap jenjanga pendidikana, mulaia daria sekolaha dasara hinggaa universitas. Tercapainya tujuana pendidikana nasionala merupakan tujuana dan peranan pendidikana kewarganegaraana. Untuk memahamia mataa kuliahadan topik pendidikana kewarganegaraana dirancanga, dikembangkana, dilaksanakana, dana dievaluasia sehubungan dengan tujuana pendidikana nasionala. Karenaa ini semuaa adalah pembentukan dana pandangan pengajaran kewarganegaraana. Selama politik merupakan hasil kesepakatan, pendidikan kewarganegaraan merupakan metode pengajaran individu untuk mendukung dan memperkuat politik di negaranya. 

Pendidikan kewarganegaraan tidak boleh menentang atau bertentangan dengan iklim politik di negara tersebut. Politik, di sisi lain, didukung dan didukung oleh pendidikan kewarganegaraan. Maksud dari Sekolah Kewarganegaraan sendiria adalaha agara warganyaa menjadia anggota masyarakat yanga produktif, karenaa anggota masyarakat yanga produktif secaraa implisit menunjang keberlangsungan bangsa yang bersangkutan. Kursus pengajaran Kewarganegaraan adalah untuk melibatkana dana mensosialisasikan siswaa karenaa selamaaini dana konsekuensi dari pelatihan harusa memilikia pilihanauntuka bekerjaa dengana siswaa auntuk menyelesaikanapengalaman yang berkembang untuka memperluasa cakrawala pembelajaran mereka untuk membangun kapasitas pembelajaran yang akan berguna selamanya dan kehadiran di dalamnya negara. 

Sesuaia dengana nilai-nilaia sosiala budayaa Indonesiaa, pendidikan kewarganegaraana merupakan suatu proses pendidikan yang menumbuhkan kemauan dan kemampuan keteladanan untuk mengembangkan kreativitas yang mencerminkan jati diri bangsa. Pengajarana sejaraha bangsaa, nilai-nilaia patriotismea dana cintaa tanaha aira, semangata belaanegaraa, dana karakter merupakan contoh pendidikanakewarganegaraana (Civica Educationa) yanga menempatkanaaspek pendidikan secaraa proporsionala dalam kurikulum pendidikana Indonesia. Pelajar di Indonesia harus mampu menjadia wargaa negaraa yanga tabah dana tabah dalama membelaaNegaraa Kesatuana Republika Indonesiaa melalui pendidikan, sesuai harapan. 

Hakikata negaraa kesatuana NKRI adalaha negaraa yang terdepan. Negaraa desa maju adalaha negaraa yanga didasari olehajiwa kebangsaana ataua patriotisme, dengan tujuan yang sebenarnya, walaupun penduduk suatu negara mempunyai keyakinan yang berbeda-beda, namun seorang jenderal masih berada di udara untuk menciptakan masa depan yang serupa, ras. , berlomba atau berkumpul dalam satu solidaritas. negara. (Sekretariat Publik Republik Indonesia, 1998). Untuk lebih memahami Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlukan komitmen yang teguh terhadapa prinsipa dana semangatanasionalisme dalama bermasyarakata, berbangsaa, danabernegaraa berdasarkana Pancasilaa dana Undang-UndangaDasara.

Pendidikan kewarganegaraan memegang peranan penting dalam pembentukan karakter dan bernegara. Pembelajaran kewarganegaraan merupakan peningkatan pembinaan karakter secara tepat dan teratur, yang tidak lepas dari sistem strategi pembinaan masyarakat, pembinaan masyarakat, dan pembinaan karakter. Selama 72 tahun kemerdekaannya, Indonesia telah menghadapi banyak tantangan terhadap integritasnya. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan komitmena yanga tegasa dana konsistena terhadapa prinsip-prinsipasemangata kebangsaana dalama kehidupana bermasyarakata, berbangsaa, dana berbangsaa berdasarkan Pancasila dan aUndang-Undang Dasara Negaraa Republika Indonesiaa pada seluruha warga negara Indonesiaa, khususnyaa generasi muda yang akan sukses. mereka. Indonesiaa akana memiliki kehidupan demokrasia ayang lebiha baika di masa depan karena warga negara mempunyai hak untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan sistem pemerintahana akana lebihaterlindungi dalama kehidupana bermasyarakata, berbangsaa, danabernegaraa

Demi kecemerlangan negaraa Indonesia dan ekspres, eksistensi keluarga, sekolah, jaringan, pemerintah, dan lembaga non-legislatif yang berbasis popularitas dalam kehidupan sehari-hari harus dirasakan, dimulai, diasimilasikan dan dilaksanakan. Sistem pemerintahan mayoritas di suatuanegaraa dapata berkembanga dia bawaha pengelolaan penduduk yang berdasarkan popularitas. Warga negara yang demokratis harusa berbagia tanggunga jawaba dengana oranga laina untukamembentuk masaa depana yanga ceraha selain memiliki hak atas kebebasan pribadi. 

Sejujurnya, kehidupan pemerintahan mayoritas adalah sebuah kebaikan yang dipahami dan dihadirkan ketika para pionir dibalik negara yang tiada habisnya mengkaji dan merencanakan Pancasila dan UUD 1945. Membangun figur publik dijadikan tolok ukur pergantian peristiwa publik. Oleh karena itu, setiap upaya pengembangan karakter harus selalu fokus pada aspek-aspek yang membantu tumbuhnya karakter tersebut. Padahal, misi pembangunan nasional mencerminkan hal ini secara konstitusional. Sesuai dengana “Rencana Kemajuan Jangka Panjang Masyarakat 2005-2025” (dalamaZubaidia, 2011:a 7a), sekolah karaktera ditempatkana sebagaiayang pertama daria delapana upaya untuka memahami visiaperbaikana masyarakat. 

Tegas, kejam, terhormat dan bermoral dalam pancasilaayanga memperhalusa sifata dana perilakua budaya dana masyarakat Indonesiaa, keberagaman suku dana negaraa Indonesiaa, rasa percaya diri dan rasa keagungan akan supremasi, kemurahan hati, perlawanan dan partisipasi, menurutnya tujuan pembelajaran warga negara yang dituangkan dalam (Darmadi, 2010: 52), hal ini dengan jelas dinyatakan: Pembangunan akhlak yanga diharapkana diwujudkana dalama kehidupanasehari-haria adalaha tindakan menyebarkana keimanan danaketaqwaan kepadaa Tuhana Yanga Mahaa Esaa dalama masyarakatayanga terdiria daria berbagaia kelompoka agamaa, perbuatanamanusiawia dalama keadilana dana peradabana, sertaa diversifikasiaperbuatana untuka menunjang persatuana bangsaa dalamamasyarakata. Perana wargaa negaraa sebagaia gardaa depanapendidikan karaktera terlihata jelasa dengan rasa cinta tanah air, perkembangan yang dinamis, dan orientasi terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pandangan tersebut juga diperkuat dengan pandangan Suwarma (Budimansyah, 2012:450) yang menyatakan bahwa peserta didik dalamq keadaana pasifa dapata menerimaa statusamataa kuliaha kapan saja, bahwa pengetahuana lebiha kuata dariasikapa dana keterampilana, serta penggunaana metodea hanya sebatas padaa mereka yang tidaka menyenangkan. Oleh karena itu, peningkatan pengembangan karakter siswa melalui pendidikan kewarganegaraan perlu dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kita harus mempunyai pilihan untuk merencanakana, melaksanakana dana menilai untukamengasimilasi anilai-nilai pribadi yanga adaa, karenaamengembangkan nilai-nilaia pribadi tidaka hanyaa memerlukan pengajarana tetapia jugaa peningkatan. “Nilai-nilai itu dipelajari,” menurut Hermann (Budimansyah, 2010: 68), “nilai-nilai tidak dipelajari atau diajarkan.”

 

Aspek emosional dalam proses pengembangan karakter dan sikap siswa juga sering diabaikan. Pandangan tersebut juga diperkuat dengan pandangan Suwarma (Budimansyah, 2012:450) yang menyatakan bahwa peserta didik dalamakeadaana pasifa dapata menerimaa statusa mataa akuliah kapan saja, bahwa pengetahuana lebiha kuata daria sikapa dana keterampilana, serta penggunaana metodea hanya sebatas padaa mereka yang tidaka menyenangkan. Oleh karena itu, peningkatan pengembangan karakter siswa melalui pendidikan kewarganegaraan perlu dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kita harus mempunyai pilihan untuk merencanakana, melaksanakana dana menilai untukamengasimilasi nilai-nilaia pribadi yanga adaa, karenaamengembangkan nilai-nilaia pribadi tidaka hanyaa memerlukan pengajarana tetapia jugaa peningkatan. “Nilai-nilai itu dipelajari,” menurut Hermann (Budimansyah, 2010: 68), “nilai-nilai tidak dipelajari atau diajarkan.” 

Hal ini sangat luar biasa sehingga sebagai instruktur, kita dapat membina generasi muda yang cerdas dan pribadi. Pendidikan peran berpotensi mencapai perkembangan kecerdasan emosional yang pada akhirnya mengarah pada sikap dan peran individu. Banyak ahli yang mengetahui sesuatu tentang sekolah karakter. Zubaedi (2012: 15) mengemukakan bahwa pendidikan etika adalah suatu upaya yang disengaja (secara sadar) untuk mencapai pertarakan, khususnya memiliki sifat-sifat kemanusiaan yang baik, yang bermanfaat bagi masyarakat, namun juga bagi seluruh wilayah setempat. Selain itu, David Elkind dan Freddy Sweed berpendapat dalam (Zubaedi, 2012: 15) bahwa sekolah karakter adalah pekerjaan yang bertujuan (untuk secara sengaja membantu individu dengan pemahaman, kepedulian dan penerapan kebajikan pusat. Dengan asumsi bahwa kita mempertimbangkan jenis karakter yang kita butuhkan pada anak-anak, remaja, tentu saja, kita mengantisipasi bahwa mereka harus dapat memutuskan apa yang benar-benar peduli dengan kenyataan, dan, yang mengejutkan, terlepas dari tekanan dari luar dan upaya dari dalam, kita dapat menghitung apa yang mereka lihat sebagai kenyataan.

Warga negara adalah seseorang yang memiliki hak politik untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan mandiri yang populer (hak untuk memilih; untuk memegang jabatan pemerintahan yang bersifat elektif; untuk menjadi juri dalam berbagai jenis; dan untuk berpartisipasi dalam debat politik sebagai anggota komunitas yang setara, dll. . (2) Di dunia modern, kewarganegaraan lebih merupakan status hukum murni. Warga negara adalah orang-orang yang secara hukum diakui sebagai anggota suatu komunitas politik tertentu yang secara resmi berdaulat. (3) Pada abad terakhir, warga merujuk pada mereka yang tergabung dalam hampir semua perkumpulan manusia, baik komunitas politik atau kelompok lain (lingkungan, klub kebugaran, universitas, dan komunitas politik yang lebih luas). (4) Kewarganegaraan tidak hanya berarti keanggotaan dalam kelompok tertentu, tetapi juga standar perilaku yang baik. Kontributor, bukan penumpang bebas, dianggap sebagai “warga negara sejati” dari badan-badan tersebut. 

memanfaatkan M. Menurut Roger, kewarganegaraan dapat dipahami sebagai suatu hak, khususnya hak politik untuk ikut serta dalam proses pemerintahan; sebagai status hukum, diakui secara hukum sebagai anggota komunitas politik (negara) yang berdaulat; kewarganegaraan mengacu pada perkumpulan atau keterikatan masyarakat tidak hanya pada negara tetapi juga pada komunitas lain (seperti keluarga, klub, universitas, dan komunitas politik yang lebih besar); Terlebih lagi, banyak kegiatan, yang berarti kewarganegaraan tidak hanya berarti pendaftaran, tetapi juga pengaturan dan perilaku penduduk. 9 Menurut Sunarso, Bryan S. Turner mendefinisikan kewarganegaraan sebagai “serangkaian praktik” (peradilan, politik, ekonomi, dan budaya) yang mempengaruhi distribusi sumber daya di antara individu dan kelompok sosial. Seperangkat praktik peradilan, politik, ekonomi, dan budaya yang dapat menentukan kompetensi seseorang sebagai anggota masyarakat dan mempengaruhi distribusi sumber daya kepada individu dan kelompok sosial dikenal sebagai kewarganegaraan. 

 

Apa yang Turner rekomendasikan adalah bahwa gagasan kewarganegaraan sebenarnya bukan sekedar sekumpulan kebebasan laten yang diberikan oleh negara kepada penduduknya. Namun ia mengatakan bahwa kewarganegaraan adalah serangkaian tindakan hukum, politik, ekonomi, dan budaya yang dapat dilakukan seseorang sebagai bagian dari suatu komunitas. Penggambaran ini menunjukkan bahwa menjadi penduduk tidak hanya sebatas menjadi warga suatu daerah saja, namun memerlukan sekumpulan karakter, cara berperilaku, dan mentalitas yang muncul dari pendaftaran tersebut. Warga negara tidak hanya disebut sebagai warga negara, anggota komunitas politik suatu negara, tetapi mereka juga merupakan anggota komunitas lain. Istilah “pendidikan kewarganegaraan” dan “pendidikan kewarganegaraan” mempunyai konotasi yang berbeda, menurut para ahli. Seperti yang dikemukakan oleh John J. 

Menurut kutipan Winarno, Cogan, pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan kewarganegaraan dalam arti sempit, yaitu sebagai suatu bentuk pendidikan formal, seperti kursus atau mata pelajaran di sekolah, universitas, atau lembaga formal lainnya. Sementara itu, pendidikan kewarganegaraan meliputi pendidikan kewarganegaraan yang bersifat formal, informal, dan non-formal. Istilah city training menurut Cogan dan Derricott, sebagaimana diungkapkan oleh Lili Halimah, mengacu pada suatu mata pelajaran penting di sekolah yang dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi muda, sehingga ketika mereka dewasa mereka dapat mengambil bagian yang berfungsi dalam masyarakat umum.

Mengupayakan seluruh aspek kehidupan daerah, bernegara, dan bernegara yang juga merupakan upaya pembinaan kerangka organisasi negara secara keseluruhan untuk mewujudkan Tujuan Umum. Dengan kata lain, pembangunan nasional dapat diartikan sebagai serangkaian prakarsa pembangunan berkelanjutan yang mencakup seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka mencapai Tujuan Nasional. Penyelenggaraan perbaikan mencakup bagian-bagian kehidupan masyarakat khususnya politik, moneter, sosial-sosial dan perlindungan dan keamanan secara tertata, menjangkau luas, terkoordinasi, terkoordinasi, berkesinambungan dan praktis untuk meningkatkan perluasan batas masyarakat dalam memahami kehidupan sehari-hari yang setara dan setara dengan negara-negara lain yang lebih maju. . Oleh karena itu, pembangunan nasional sejatinya merupakan cerminan keinginan untuk memajukan kehidupan masyarakat dan penyelenggara negara secara demokratis berdasarkan Pancasila, serta terus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. 

Pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya serta pembangunan masyarakat Indonesia secara keseluruhan merupakan hakikat pembangunan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: Seluruh kegiatan pembangunan dilaksanakan secara selaras, seimbang, dan utuh. Manusia untuk pembangunan, bukan sebaliknya. Pembangunan adalah untuk manusia. Unsur manusia, unsur sosial budaya, dan unsur lainnya harus mendapat perhatian yang seimbang baik dalam pembangunan saat ini maupun di masa yang akan datang.

 

DAFTAR PUSTAKA

Akbal, M. (2017, October). Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembangunan karakter bangsa. In Prosiding Seminar Nasional Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial (Vol. 2, pp. 485-493). 

Budimansyah, D. 2008. “Revitalisasi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen)” dalam Acta Civicus Vol. 1. Nomor 2, April 2008.

Budimansyah, D. 2009. Inovasi Pembelajaran Project Citizen. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs Universitas Pendidikan Indonesia.

Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Budimansyah, D., Syaifullah, S. 2006. Pendidikan Nilai-Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Laboratarium Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI. 

Cholisin. 2011. Pengembangan Karakter Dalam Materi Pembelajaran Pkn. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.